Perubahan iklim tidak hanya memengaruhi suhu atau pola cuaca, tetapi juga memaksa manusia untuk berpindah tempat tinggal. Di Afrika, fenomena ini dikenal sebagai migrasi iklim, di mana jutaan orang terpaksa meninggalkan rumah mereka karena kekeringan, banjir, dan degradasi lahan. Fenomena ini kini menjadi salah satu isu kemanusiaan paling mendesak di abad ke-21.
Afrika adalah benua yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim meski kontribusinya terhadap emisi global relatif kecil. Kekeringan panjang melanda wilayah Tanduk Afrika seperti Somalia, Ethiopia, dan Kenya, menyebabkan gagal panen dan krisis pangan. Sementara itu, banjir ekstrem di Nigeria dan Sudan Selatan menghancurkan ribuan rumah dan ladang.
Kondisi ini memaksa jutaan orang bermigrasi ke kota besar atau negara tetangga. Menurut data PBB, pada 2050 diperkirakan lebih dari 100 juta orang Afrika akan menjadi pengungsi iklim. Migrasi besar-besaran ini berpotensi menimbulkan ketegangan politik, konflik etnis, hingga masalah keamanan regional.
Kota-kota besar seperti Lagos, Nairobi, dan Addis Ababa sudah merasakan dampaknya. Ledakan populasi akibat migrasi membuat tekanan besar terhadap infrastruktur, lapangan kerja, dan layanan publik. Jika tidak dikelola dengan baik, hal ini bisa memicu instabilitas sosial yang serius.
Pemerintah Afrika sebenarnya sudah mencoba beradaptasi, misalnya dengan pembangunan bendungan, proyek penghijauan, hingga kerja sama internasional. Namun, keterbatasan dana dan kapasitas membuat banyak program tidak berjalan optimal. Dukungan dari negara maju sangat dibutuhkan agar Afrika bisa bertahan menghadapi badai iklim.
Fenomena migrasi iklim di Afrika juga menjadi isu global. Eropa, yang menjadi tujuan banyak pengungsi, menghadapi tantangan baru karena arus migrasi semakin besar. Ini menimbulkan perdebatan politik di negara-negara Eropa mengenai penerimaan pengungsi iklim.
Di sisi lain, ada potensi positif. Migrasi bisa memicu inovasi sosial, membangun kota baru, dan mendorong investasi internasional jika dikelola dengan strategi matang. Namun, tanpa perencanaan, migrasi iklim justru menjadi bencana kemanusiaan berkepanjangan.
Afrika kini berdiri di persimpangan: apakah migrasi iklim akan menjadi krisis yang memicu konflik, atau peluang untuk membangun masa depan baru yang lebih berkelanjutan? Jawaban ini bergantung pada solidaritas global dan kemampuan adaptasi manusia terhadap perubahan iklim.